Tantangan HAM di Tengah Pandemi Covid-19

Aji Setiawan DPC Sekretaris PPP Purbalingga
Aji Setiawan DPC Sekretaris PPP Purbalingga

CILACAP.INFO – Hari Hak Asasi Manusia sedunia diperingati setiap tanggal 10 Desember. Adapun tema Hari Hak Asasi Manusia Sedunia tahun 2020 yaitu “Recover Better – Stand Up for Human Rights”.

Tema Hari HAM ke-72 tahun 2020 diambil dengan melihat kondisi pandemi COVID-19. di mana krisis COVID-19 telah menyebabkan meningkatnya kemiskinan, ketidaksetaraan, diskriminasi, dan kesenjangan lainnya.

Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampaui batas-batas etnik, ras, maupun ideologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk deskriminasi, ketidakadilan, penindasan, dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki oleh bangsa, suku, agama, dan kelompok manapun di seluruh penjuru dunia.

Sedari awal Islam menentang penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan. Qabil, putera Nabi Adam AS., disebut orang yang durhaka karena telah melakukan pembunuhan terhadap saudaranya sendiri, Habil. Ia telah merampas hak saudaranya itu untuk hidup. Hal-hal semacam ini kita lihat dalam rentang sejarah manusia dari waktu ke waktu.

Feodalisme yang pernah berkembang di Eropa berabad-abad yang lalu yang secara historis formal ditandai dengan dimulainya sistem fief, yang membeda-bedakan derajat dan hak manusia atas dasar kekuasaan dan tanah, mendapatkan penentangan secara gradual dengan timbulnya kesadaran akan nilai-nilai keadilan.

Munculnya tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas, Hobbes, John Lock, David Hume, Jaques Rousseau, Immanuel Kant, dan lain-lain merupakan bukti adanya kesadaran dalam diri manusia akan pentingnya persamaan derajat di antara mereka.

Revolusi Inggris yang pertama (1640 M-an), disusul dengan Revolusi kedua (1688 M), hingga Revolusi Perancis (1789 M) merupakan bukti adanya kesadaran umat manusia untuk menghapus segala bentuk ketimpangan, absolutisme, penindasan, dan lain sebagainya yang membedakan derajat manusia dari segi kepemilikan kekayaan, keturunan, kebangsawanan, kekuasaan, dan lain sebagainya.

Jauh sebelum itu, Piagam Magna Charta (1215), Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776 M) telah menyuarakan gagasan persamaan, persaudaraan dan kekebasan. Jauh sebelum itu, Nabi Musa dengan segala pengorbanannya berupaya membebaskan bangsa Israel dari penindasan Firaun! Nabi Yunus rela terjun ke laut demi keselamatan umatnya yang ada di perahu! begitu juga nabi-nabi sebelumnya. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW yang dengan segala pengorbanannya berhasil menciptakan masyarakat madani (civilized sosiety).

Sejalan dengan kemajuan pola pikir umat manusia, masalah HAM mulai menjadi perhatian serius. Setelah lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 10 Desember 1948 terjadi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Right (UDHR), disusul kemudian dengan International Convenant Economic and Cultural Right (31 Januari 1976), dan International Convenant on Civil and Political Right (23 Maret 1976).

Persoalannya kemudian adalah, sebagian masyarakat Islam –mengingat deklarasi-deklarasi tersebut dipelopori oleh bangsa-bangsa Barat–, justru melihat itu sebagai al-ghazw al-fikriy atau invasi kultural terhadap negara-negara dunia ketiga (Said Aqil, 1999: 97).

Benarkah demikian? Untuk memahami hal ini, barangkali kita perlu melihat dinamika yang berkembang pada masyarakat Islam secara global. Dinasti Islam di Spanyol (Andalus), mengalami kehancuran total ketika tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang oleh para sejarahwan dianggap sebagai titik awal dari kemunduran umat Islam dan kemajuan Barat.

Ketika di abad ke-18 Napoleon Bonaparte dan pasukannya melakukan ekspansi ke Mesir, umat Islam seolah didasarkan oleh kondisi itu. Maka muncullah kemudian apa yang disebut upaya pembaruan pemahaman Islam atau (tajdîd). di kalangan umat Islam, terjadi tarik-menarik tentang konsep tajdîd ini.

Sebagian kalangan memandang bahwa pembaharuan merupakan proses menghidupkan kembali praktek-praktek keberagamaan lama yang telah sirna ditelan zaman. Para pembaharu (mujaddidûn) bertugas mengembalikan praktek keberagamaan umat terdahulu (tradisionalis) dan menghidupkannya di zaman sekarang (modernitas) dengan tetap mempertahankan metode-metode klasik.

Sedangkan yang lainnya, mengartikan tajdîd sebagai sebuah gerakan rekonstruksi pemahaman Islam dan gerakan inovasi terhadap cara keberagamaan. Versi kedua ini lebih bersifat progresif dan prospektif. (Amin Al-Khulli, 2003:36).

Keduanya itu, mengandung kekeliruan mendasar. yang pertama mengandaikan bahwa Islam harus ditampilkan sedemikian rupa tanpa perubahan. Menurut kelompok ini, yang harus dilakukan adalah pemurnian (purifikasi), dan pengembalian “tampilan Islam” (islamic performance) yang mewarnai generasi-generasi pendahulu, tanpa berfikir tentang relevansi dan tanpa mempetimbangkan dialektika perkembangan persoalan hidup kemanusiaan.

Sedangkan yang kedua, terkesan mengeksekusi agama untuk tampil sebagai ideologi gerakan yang secara praktis memberi jawaban-jawaban persoalan kemanusiaan.

Jika pembaruan yang over-progressive ini dipaksakan, maka universalitas dan eternitas ajaran Islam semakin kabur dari waktu ke waktu.

Di sinilah paham moderat dan inklusif “al-muhâfazhah ‘ala al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah” yang menjadi prinsip paham Ahlussunnah Waljama’ah menemukan relevansinya.

Namun, semuanya itu tentu saja harus didasari oleh upaya yang serius terhadap masalah-masalah yang berkembang.
Upaya-upaya penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia secara keseluruhan yang tentu saja harus mendapatkan respons serius dari agama (baca: Ahlussunnah Waljama’ah).

Kenyataan bahwa setiap kelompok, bangsa, ideologi, maupun agama manapun di seluruh penjuru dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakan dan pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan, dan kezaliman. Al-Quran sendiri dengan tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan perbuatan orang-orang kafir.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka ‘gembirakanlah’ mereka dengan siksa yang pedih” (QS. Âli Imrân, 3: 21).

Masalah kemanusiaan merupakan tuntutan dan tanggung jawab bersama tanpa pandang bulu (mas-ûliyyah insâniyyah). Dalam hukum Islam juga dikenal lima prinsip universal (kulliyyât al-khams) yang dijadikan pertimbangan bagi para ahli fikih dan hukum Islam dalam menetapkan produk hukum yaitu: hifzh ad-dîn, hifzh an-nafs, hifzh al’aql, hifzh al-mâl, dan hifzh al-‘irdh wa an-nasl.

HAM yang dijelaskan dalam 30 pasal UDHR, pada dasarnya terangkum dalam lima prinsip itu (Said Aqil Siradj, 1999: 109). Hak beragama terwadahi dalam hifzh ad-dîn.

Hak hidup, terbebas dari rasa takut, penganiayaan, penindasan, dan menentukan nasib sendiri tercermin dalam hifzh an-nafs. Hifzh al-‘aql merupakan prinsip yang menjamin kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, hak pendidikan, berbudaya, berserikat, dan berkumpul. Sedangkan hak atas jaminan sosial, bebas dari kepalaran, dan upah yang layak.

Akhirnya, hifzh al-‘irdl wa an-nasl merupakan muara bagi persamaan derajat di hadapan hukum, hak privacy, hak berkeluarga, hak untuk turut serta dalam pemerintahan, hak atas pekerjaan, dan hak atas peradilan bebas. Begitu mulianya Islam menempatkan sosok manusia. Inilah cita-cita yang melandasi berdirinya masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, melalui tema Hari HAM tahun ini di tengah wabah Pandemi yang melanda seluruh dunia, diharapkan menumbuhkan kepedulian terhadap hak asasi manusia agar segera pulih dari krisis yang ada.(***)

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait