Oleh: Aji Setiawan – Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
Secara konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.
Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi,” setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Pascareformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan tersebut antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-Satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media yang dinilai melanggar peraturan dan mengeritik penguasa bisa dikenakan pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui “rezim SIUPP” (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Kebebasan pers di Indonesia dijamin undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak Bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dibanding hampir dua dekade silam, kebebasan pers Indonesia kini jauh lebih maju
Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi,” setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media yang dinilai melanggar peraturan dan mengeritik penguasa bisa dikenakan pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui “rezim SIUPP” (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Pascareformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan tersebut antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-Satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah
Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3 ayat (1): Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Pasal 6 : Pers nasional melaksanakan peranannya:
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan
mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan
memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Ada pun Kemerdekaan pers diatur dalam:
Pasal 4 ayat (1) : Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
Pasal 4 ayat (2) : Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran
Pasal 4 ayat (3) : Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang tentang Pers memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”
Walau undang-undang menjamin kebebasan pers, tapi bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tinggi dibanding negara lain. Pada 2017, misalnya indeks kebebasan pers di Indonesia berada pada urutan 124 dari180 negara. Menurut lembaga international Reporter Sans Frontiers (RSF) kebebasan pers di Indonesia jauh di bawah negara Asia, seperti Hong Kong, Jepang, dan Timor Leste.
Meski mendapatkan perlindungan dari UU Pers sejak 1999, wartawan masih saja dihalang-halangi dalam bekerja. Mereka diancam, diperlakukan secara buruk, Bahkan menjadi korban kekerasan fisik. 763 kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak 2006 (Aliansi Jurnalis Independen).10 wartawan Indonesia terbunuh saat bertugas sejak 1996. Indonesia saat ini berada di urutan 124 dibanding negara-negara lain dari aspek kebebasan pers (Reporters Without Border, 2019).
75 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia mari kita jadikan sebagai momentum untuk merefleksikan serta meninjau kembali mengenai kondisi negara dalam melaksanakan tugasnya, untuk menjamin hak setiap orang atas kebebasan pers. Salah satu hal yang menjadi tolok ukur adalah bagaimana situasi kebijakan yang diberlakukan terkait kebebasan berekspresi, perlindungan pers, dan hak atas informasi di Indonesia.
Sebagai sebuah negara yang mengakui eksistensi hak asasi manusia, situasi kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia justru lagi–lagi meninggalkan catatan merah. Berbagai instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi hingga hadirnya berbagai undang–undang, nyatanya masih beriringan dengan berbagai kebijakan yang justru menegasikan semangat kebebasan pers.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatatkan setidaknya ada 4 catatan merah kebijakan di Indonesia, terkait perlindungan kebebasan pers, kebebasan bereskpresi, dan pemenuhan hak atas informasi.
Selain kekerasan terhadap wartawan, upah wartawan saat ini masih jauh dari harapan. Tak hanya si ibukota, kesejahteraan bagi para jurnalis yang bertugas di daerah juga tak kalah mengenaskan. Misalnya saja di Yogyakarta. Banyak di antara mereka yang tak mendapatkan jaminan kesehatan dan memiliki gaji di bahwa upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau upah minimum provinsi (UMP).
Pada 2020 ini UMP di Yogyakarta sebesar Rp1.704.608. Sedangkan UMK masing-masing di Kabupaten Gunungkidul Rp1.705.000! Kulon Progo Rp1.750.500! Bantul Rp1.790.500! Sleman Rp1.846.000! dan Kota Yogyakarta Rp2.004.000.
Namun tak semua jurnalis di Yogyakarta mendapatkan gaji sebagaimana yang telah ditetapkan. Meskipun UMP dan UMK di Yogyakarta adalah yang paling rendah se-Indonesia nyatanya tak semua perusahaan media di Yogyakarta tak mampu membayar para jurnalisnya sesuai ketentuan. (***) Penulis adalah mantan Ketua Korda Persatuan Wartawan Indonesia -Reformasi (PWI-Reformasi) Daerah Istimewa Yogyakarta 1998-2002.