Lapas Nusakambangan, Saksi Bisu Penebusan Dosa Para Napi

Gerbang Depan Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan
Gerbang Depan Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan

JURNAL ONLINE – Kejahatan bukanlah sebuah hal yang tabu untuk dibicarakan melainkan suatu kewajaran yang berjalan beriringan dengan garis kehidupan, entah itu sebuah tuntutan atau bahkan hanya sekedar “keisengan” belaka.

Dunia boleh saja berbicara bahwa setiap orang yang melakukan sebuah tindakan kriminal akan otomatis diberikan sebuah hukuman baik hukum pemerintah maupun hukum adat yang berlaku, namun fakta di lapangan berbicara lain.

Salah satunya adalah sistem “pembelian hukuman” atau yang biasa kita kenal dengan kata “suap”. Orang- orang sangat mudah merubah aturan yang telah dibuat, para pelaku kejahatan berat dapat seketika hilang tanpa luka dan bekas.

Lalu siapa yang perlu disalahkan apakah sistem pemerintahan? kebijakan hukum? atau malah para penegak hukum? Dan seketika akan muncul pertanyaan, bagaimanakah standar hukum di Indonesia sendiri?.

Advokat, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial dinilai sebagai jajaran para penegak hukum di Indonesia merekalah yang berpengaruh dalam baik buruknya kualitas hukum di negara ini.

Bagi mereka yang melakukan sebuah kejahatan akan diberikan sebuah sanksi dengan cara dijebloskan ke dalam bui. Lalu apa definisi dari bui sendiri? penjara, bui, atau lembaga pemasyarakatan(LP) adalah fasilitas negara yang mana merupakan tempat seseorang untuk ditahan secara paksa dan lepas dari kebebasan apapun di bawah otoritas negara. Salah satu LP yang terkenal di Indonesia adalah Nusa Kambangan.

Tempat yang memiliki kesan yang cukup menyeramkan dikarenakan menjadi penjara dan tempat eksekusi narapidana hukuman mati tidak aneh jika pulau tersebut dijuluki Alcatraz ala Indonesia. Pulau dengan beberapa lapas yang terdapat didalamnya mulai dari lapas untuk teroris, pengedar narkoba, pencuri kelas kakap, dan yang lainnya memiliki sejuta cerita didalamnya.

Balada Pulau Nusakambangan, Abadi Sebagai Pulau Bui

Menurut sejarahnya, Nusakambangan yang biasa dijuluki sebagai Pulau Penjara ini ada sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia. Diawali pada tahun 1739, Kapal VOC tersesat di Samudera Hindia dan terdampar di sebuah teluk yang berada di Pangandaran. Setelah mengitari pulau tersebut, Paulusz merasa Pulau Nusakambangan cocok untuk dibangun sebuah pelabuhan.

Kemudian pada tahun 1836 VOC membangun sebuah Benteng yang diberi nama Benteng Karang Bolong. Benteng ini merupakan salah satu sistem pertahanan Nusakambangan dengan tujuan untuk memantau kedatangan dan ancaman dari pihak lain.

Namun karena adanya wabah malaria membuat pembangunan benteng tersebut tersendat dan menyerang 80% tenaga kerja yang terlibat dalam pembangunan benteng tersebut. Kemudian pembangunan benteng diputuskan untuk dikerjakan oleh tenaga narapidana.

Untuk itu, dibangunlah penjara dari bamboo di sekitar Benteng Karang Bolong dengan kapasitas hingga 300 Narapidana. Pada tahun 1908, Nusakambangan resmi ditetapkan sebagai Pulau Bui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah penetapan itu kemudian dibangunlah Penjara Permisan disebelah selatan Pulau Nusakambangan.

Penjara dengan daya tampung hingga 700 orang yang mana tidak hanya sebagai tahanan di penjara saja melainkan juga sebagai tenaga untuk pembukaan lading karet di pulau ini. Lambat laun semakin banyak penjara yang dibangun di Pulau ini hingga kini Penjara Nusakambangan tidak hanya menjadi tempat mendekamnya para tahann melainkan juga menjadi tempat eksekusi mati bagi para narapidana yang kejahatannya tidak terampuni.

Alasan Penjara Nusakambangan menjadi “rumah” bagi para tahanan dengan tingkat kejahatan yang tinggi tidak lain dan tidak bukan karena memiliki tingkat keketatan yang tinggi dengan teknologi keamanan modern seperti CCTV dan sensor gerak sehingga akan sangat sulit bagi para napi untuk bisa melarikan diri dari pulau ini.

Standar Hukum Nusakambangan Bagi Napi Legendaris

Standar ampe yang digunakan di Lapas Nusakambangan sendiri bukanlah hal yang enteng untuk diperbincangkan. Seluruh hukuman sudah berlandaskan dengan aturan yang dibuat oleh lembaga penegak ampe. Salah satunya adalah sanksi berat bagi eks narapidana program asimilasi dan integrasi yang berbuat ulah.

Napi napi yang telah dibebaskan namun terbukti kembali melakukan tindak pidana maka hukumannya akan diperberat dan akan dicabut hak asimilasi dan intergasinya. Tidak hanya itu saja juga wajib menjalankan sisa pidananya kembali dilapas sebelumnya, kasusnya juga akan diproses ampe dengan tindak pidana yang baru, dan juga tambahan hukuman sesuai dengan putusan hakim pengadilan, tambahan hukuman tersebut akan dijalankan setelah selesai menjalankan pidana yang lama.

Hal ini diharapkan akan memberikan rasa takut dan jera bagi para napi yang sudah dibebaskan agar tidak kembali berulah melakukan sebuah kejahatan. Seperti julukannya yaitu Pulau eksekusi mati, Nusakambangan menjadi saksi bisu pencabutan nyawa seorang napi, seluruh pelaku kejahatan yang sudah tidak dapat diampuni maka hukuman yang paling tepat adalah penghilangan nyawa.

Sebelum dibuatnya LP Karanganyar, eksekusi mati dilakukan di lembah terbuka yang biasa disebut dengan julukan Lembah Nirbaya. Tidak ada yang tau titik pastinya dimana sebab eksekusi mati dilakukan tepat tengah malam dalam kegelapan hutan Nirbaya.

Tim eksekutor hanya menyorot dada terpidana dengan lampu senter agar terlihat oleh penembak jitu. Dengan kodisi ini eksekusi akan menghadapi berbagai kendala salah satunya karena kondisi alam yang terbuka ditakutkan akan terjadi hujan lebat yang tentu saja mengganggu sang eksekutor.

Namun kini LP Nusakambangan sudah memiliki ruang eksekusi mati yang dilengkapi dengan penunjangannya seperti CCTV, automatic door lock, control room, ruang pengawasan aktivitas untuk narapidana selama 24 jam, penggunaan alat pengacak sinyal pemasangan pagar kejut, penggunaan alat perekam suara di setiap ruangan, serta penetapan zero identy bagi para petugas yang bertugas.

Akhir Kata

Sistem ampe yang berlaku di Lapas Nusakambangan sangatlah ketat, hal ini dikarenakan para narapidana yang berada di Pulau ini merupakan napi napi dengan kasus yang sangat berat. Jika dilihat dari segi petugas juga sudah cukup aman dan layak untuk dikatakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan karena tidak ada toleransi bagi petugas maupun warga binaan yang terlibat dalam tindakan criminal baik penyeludupan narkoba, peredaran narkoba, atau bahkan suap.

Satu kritik enteng saya bagi Lembaga Permasyarakatan seperti Lapas Nusakambangan menurut saya lembaga pemasyarakatan khususnya di Indonesia seharusnya menjadi wadah untuk penghukuman dan juga sekaligus perbaikan bagi para napi yang masih layak diberikan pengampunan.

Pemerintah mau tidak mau harus mulai memikirkan ampertive kebijakan pemidanaan. Saat ini amper tidak ada fasilitas korektif lain yang dikembangkan pemerintah, seperti kerja sosial dan rehabilitasi. Lapas justru seolah dirancang untuk menjadi tempat akhir menampung beban peradilan, bukan sebagai lembaga yang mempersiapkan para napi untuk kembali ke masyarakat.

BIODATA PENULIS

Dewi Suci Lestari, Cilacap, 09 Juni 2001. Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia , Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berdomisili di desa Pengampiran RT 05 RW 02, Kec. Gandrungmangu, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. HP 088806690133. Posel : dewisuculstr[a]gmail.com

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait