Wartawan Senior ini Ajarkan untuk Tidak Sekedar Menulis

Aji Setiawan DPC Sekretaris PPP Purbalingga
Aji Setiawan DPC Sekretaris PPP Purbalingga

Oleh: Aji Setiawan – Pernahkah para wartawan mengecek berita yang dikirim ke kantor media? Tahunya beritanya itu dikelola polisi dan militer? Sudah ratusan online justru polisi dan aparatus militer justru dibalik media. Jadi, yang saya tulis, lapor polisi dong…

Tentu bukannya saya keberatan soal polisi dibalik kerja kerja wartawan. Memang banyak berita yang akhirnya berkaitan dengan polisi seperti kejadian, kriminal, kecelakaan dan urusan gawat darurat. Dan polisi serta TNI juga bisa mendirikan lembaga pers sendiri, sebagai upaya pemberitaan kegiatan internal instansi.

Ketika 22 Tahun yang lalu saya diminta mengajar menulis berita di berbagai lembaga pers, saya sering mengungkapkan beda antara kinerja wartawan dan polisi terhadap sebuah kejadian peristiwa. Dimana ruang wartawan sebatas penyelidikan dan pelaporan peristiwa. Sementara kepolisian, ranahnya bisa dua sekaligus Bahkan lebih ditingkatkan punya hak menyidik, penyidikan, ini pun sering salah pahami menjadi penginterogasian.

Maka setiap saya membekali jurnalis muda, sering saya bekali ilmu menyelidiki sampai melaporkan sebuah peristiwa atau kejadian dengan prinsip 5W+1H.

Prinsip dasar menulis berita itu selalu berkembang sepanjang waktu, apalagi di tengah dunia persaingan media. Berita yang biasa biasa saja, tidak dibaca. Ribuan informasi dianggap tidak penting dan menarik. Sehingga media saat ini harus merubah diri dan perlu meng upgrade tidak sekedar berita, agar menarik dibaca.

Mulailah berkembang tidak sekedar kemahiran menulis berita.Di era akhir 90-an,setelah reformasi bergulir, sangat tumbuh subur ragam penulisan jurnalistik, mulai jurnalisme literasi, jurnalisme narasi, jurnalisme transformasi, jurnalisme investigasi, jurnalisme realisme, jurnalisme presisi (data penelitian dan survey) dll.

Isme isme dari sebuah teknik dan cara kerja aliran jurnalisme ini tentu diperdalam oleh mereka yang sudah makan asam garam bekerja dan tidak latihan di awal awal lembaga pers mahasiswa. Harus learning by doing. Belajar sambil mempraktikkan, biasanya cara berlatih seperti ini dengan melakukan pendampingan terhadap peserta didik. Saya sendiri lebih senang, dalam pendampingan peserta didik itu menjadi teman ngobrol dan berbagi pengalaman.

Soal cara penulisan, tentu kita akan memasuki ruang bahasa dan sastra dari tiap individu untuk mengungkapkan gagasan dari ruang kemerdekaan berfikirnya dalam bentuk tulisan yang menarik dibaca dari awal tulisan sampai akhir tulisan.

Untuk mencapai tingkat objektivitas yang tinggi, ada campur tangan lain,yakni editor! redaksional dan bahasa. Filterisasi tulisan diproses editor inilah terjadi penyaringan uji keakuratan, kecermatan dan ketelitian dari tulisan yang masuk. Perlu berulang kali membaca dan mengoreksi tulisan yang sudah masuk. Dengan tulisan dan pelaporan yang baik serta editorial serta kemasan rancang grafis media, maka tugas selanjutnya media siap bertarung, bersaing di pasar.

Masih di era kran kebebasan pers dibuka, transfer ilmu- ilmu jurnalis begitu tumbuh subur, sesubur dan berkembang biaknya jumlah media yang sudah mencapai ribuan. Tentu pada waktu itu,saat eforia kebebasan pers dibuka, banyak muncul pertanyaan sampai kapan bertahan?

Bahkan di era digitalisasi dan masa pandemi ini serta seretnya pasar media, tantangan media makin bertambah. Untuk sekedar bertahan hidup tidak lebih tidak kurang.

Ternyata kebebasan dan kemerdekaan pers paska reformasi bergulir, menghasilkan persaingan hukum pasar.Siapa yang kuat, dialah yang diterima pasar dan mampu bertahan. Hukum pasar inilah yang sampai hari ini menyeleksi secara alami lembaga penerbitan pers dan media.

Akhirnya, pada sebuah keyakinan penulis, bahwa jurnalisme itu mengabdi pada khalayak. Terhadap berbagai pihak kepentingan, pengiklan, pemilik modal, pekerja pers dll itu adalah ekosistem mata rantai kehidupan pers yang saling berkaitan, saling menghidupi dan bekerja sama untuk keberlangsungan media.

Selama khalayak sebagai lahan dan sumber penulisan mendapat perhatian selama itulah lembaga dan institusi media bisa bertahan. (***) Aji Setiawan.

Pernah Bekerja di Jogja Pos, Redaksi majalah alKisah, PT Anekayesss!

Mantan ketua Korda PWI-Reformasi Dista Jogjakarta

Menulis di berbagai media cetak dan online.

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait