Tantangan HAM di Tengah Pandemi Covid-19

Aji Setiawan DPC Sekretaris PPP Purbalingga
Aji Setiawan DPC Sekretaris PPP Purbalingga

Jauh sebelum itu, Piagam Magna Charta (1215), Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776 M) telah menyuarakan gagasan persamaan, persaudaraan dan kekebasan. Jauh sebelum itu, Nabi Musa dengan segala pengorbanannya berupaya membebaskan bangsa Israel dari penindasan Firaun! Nabi Yunus rela terjun ke laut demi keselamatan umatnya yang ada di perahu! begitu juga nabi-nabi sebelumnya. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW yang dengan segala pengorbanannya berhasil menciptakan masyarakat madani (civilized sosiety).

Sejalan dengan kemajuan pola pikir umat manusia, masalah HAM mulai menjadi perhatian serius. Setelah lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 10 Desember 1948 terjadi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Right (UDHR), disusul kemudian dengan International Convenant Economic and Cultural Right (31 Januari 1976), dan International Convenant on Civil and Political Right (23 Maret 1976).

Persoalannya kemudian adalah, sebagian masyarakat Islam –mengingat deklarasi-deklarasi tersebut dipelopori oleh bangsa-bangsa Barat–, justru melihat itu sebagai al-ghazw al-fikriy atau invasi kultural terhadap negara-negara dunia ketiga (Said Aqil, 1999: 97).

Benarkah demikian? Untuk memahami hal ini, barangkali kita perlu melihat dinamika yang berkembang pada masyarakat Islam secara global. Dinasti Islam di Spanyol (Andalus), mengalami kehancuran total ketika tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang oleh para sejarahwan dianggap sebagai titik awal dari kemunduran umat Islam dan kemajuan Barat.

Ketika di abad ke-18 Napoleon Bonaparte dan pasukannya melakukan ekspansi ke Mesir, umat Islam seolah didasarkan oleh kondisi itu. Maka muncullah kemudian apa yang disebut upaya pembaruan pemahaman Islam atau (tajdîd). di kalangan umat Islam, terjadi tarik-menarik tentang konsep tajdîd ini.

Sebagian kalangan memandang bahwa pembaharuan merupakan proses menghidupkan kembali praktek-praktek keberagamaan lama yang telah sirna ditelan zaman. Para pembaharu (mujaddidûn) bertugas mengembalikan praktek keberagamaan umat terdahulu (tradisionalis) dan menghidupkannya di zaman sekarang (modernitas) dengan tetap mempertahankan metode-metode klasik.

Tampilkan Semua
Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait