PURBALINGGA – Jurnalisme itu hidup ditentukan khalayak. Rumus ini terpatri kuat oleh Goenawan Muhammad sang pendiri Majalah Tempo. PT Tempo, selain menggarap majalah, koran juga online, komunitas Utan Kayu, JIL, Obat-obatan, KBR 68H.
Saya kira Tempo adalah rujukan garda terdepan jurnalisme bermutu yang paling unggul saat ini karena akurat, tajam dan banyak membela kepentingan khalayak. Selain Tempo, raksasa media lainnya adalah Kompas dan Jawa Pos.
Media cetak memang lain, di banding media online, media daring, media elektronik (televisi dan radio) apalagi setelah WiFi masuk ke desa-desa, khalayak mempunyai ruang pilihan yang sangat beragam. Tentu berbeda saat Orde Baru berkuasa di mana narasi pemerintah adalah sama idemnya dengan narasi media.
Seragamisasi wacana itu diproduksi oleh Orba melalui Menteri Penerangan. Media yang berlawanan dengan pemerintah, pasti disikat (diberangus-breidel-red) SIUPP pasti dicabut, wartawannya di bui dengan berbagai alasan menentang pemerintah.
Media-media yang masih bertahan hari ini adalah media yang sudah pasti kaya modal, idiologi medianya jelas, iklan banyak, oplah tinggi, kesejahteraan jurnalis terjamin, uang lembur dan transpot di luar gaji pokok, pekerja pers dapat saham dan dapat asuransi JAMSOSTEK.
Kondisi mainstream lembaga pers semacam itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh pers yang punya idiologi, integritas dan berpihak serta mencintai kebenaran dan kejujuran.
Bila menengok sejarah penerbitan Pers Kebangsaan, kiranya para sejarawan Pers Indonesia bisa membaca kembali kehadiran Tirto Adhi Soerjo dengan “Medan Prijaji” adalah permulaan pertambia menjadikan pers sebagai alat pergerakan. Surat Kabar “Medan Prijaji” yang terbit pertama kali pada pada hari Jum’at, 1 Januari 1907 mempunyai jargon kebangsaan ini kemudian berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar, sekaligus mengadvokasi publik dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom.
Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air. di masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran sekaligus. Wartawan berperan sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional.
Selain itu wartawan juga berperan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategi sendiri dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Setelah mengetahui sejarah awal pers di Indonesia, kita dapat melihat bahwa pers di Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Pers Indonesia turut memberikan kesaksian, mencatat dan sekaligus menjadi pendorong perjuangan bangsa untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini diharapkan pers Indonesia dapat memberikan kontribusi positif untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Reformasi telah bergulir, kebebasan pers saat ini bisa dinikmati oleh siapa saja dan berdampak besar bagi kemajuan hak berdemokrasi dan penegakan HAM. Episode Lengsernya Soeharto dan berlanjut dengan Pemerintahan Reformasi secara berturut-turut Habibie, Gus Dur, Mega ternyata membawa dampak luarbiasa dalam perkembangan pers nasional.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia langsung masuk ke dalam barisan tiga negara yang dikategorikan memiliki kebebasan Pers, sesudah Filiphina dan Thailand. Beberapa organisasi pers, semacam AJI malah membentuk South East Asia Press Alliance (SEAPA), yang bertugas mengekspor kebebasan pers ke negara-negara tetangga.
Indikasi pers bebas di Indonesia kini memang tidak ada yang menyangkal. Media Massa, baik cetak maupun elektronik, sekarang nyaris tidak punya hambatan lagi dalam meliput dan menyiarkan berita. Semua tampil berani. Hampir tidak ada lagi tabu-tabu politik yang semasa Orba berkuasa begitu membelenggu ruang gerak pers.
Apapun bisa ditulis: Keluarga Cendana, Cikeas, Century, Wisma Atlet, Proyek Hambalang sampai masalah HAM dan SARA. Semua bisa ditulis dan disebarkan. Begitupula dalam organisasi wartawan, semua bebas membentuk organisasi.
Tapi dibalik cerita manis prosesi demokrasi dengan adanya kebebasan pers sendiri masih tersisa wajah buruk pers. Kekerasan demi kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Simak saja laporan Tahunan AJI (Aliansi Jurnalis Independen).
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 84 kasus kekerasan yang menimpa wartawan di berbagai daerah sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2020.
Tapi dari sekian kasus yang menimpa wartawan itu, barangkali sampai sekarang yang tidak ada yang mampu menandingi tragisnya kematian Fuad Muhammad Safrudin, akrab dipanggil Udin, yang bekerja sebagai wartawan Bernas. Sejak penganiayaan yang terjadi pada 13 Agustus 1996 yang berbuntut tewasnya Udin, kasus tersebut selama 25 tahun belum terungkap jelas.